- Beranda
- Indexs Berita
- Dua Aturan Ini Membuat KPK ''Bingung'' Usut Kasus Sumber Waras
16 Juni 2016 - 09:25:05 WIB
Penyelidikan terhadap kasus jual beli
lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras dipastikan belum berhenti oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski masih mencari unsur tindak
pidana lainnya lantaran tidak ditemukan perbuatan melawan hukum, KPK
belum dapat meningkatkan status ke tahap penyidikan.
Demikian disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat kerja dengan
Komisi III di Gedung DPR, Rabu (15/6). Ada permintaan dari penyelidik
untuk dihentikan, tapi kami belum putusankan hentikan ujarnya.
Penyelidik KPK memang mendorong agar lembaganya segera menghentikan
kasus tersebut dalam pemaparan kasus RS Sumber Waras. Namun, Agus
menilai masih terdapat beberapa hal yang mesti digali untuk mencari
unsur pidana. Bila ternyata belakangan tidak ditemukan perbuatan melawan
hukum dan unsur pidana korupsi lainnya, maka penyelidikan dapat
dihentikan. Berbeda halnya ketika status hukum sudah masuk ke tahap
penyidikan, maka proses yustisia mesti terus berlanjut ke muka
persidangan di pengadilan.
Agus mengakui hasil audit investigasi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
mesti dicocokan dengan hasil penyelidikan KPK. Hal itu disebabkan
terjadinya perbedaan antara hasil audit BPK yang menyatakan adanya
penyimpangan dan kerugian negara dengan hasil penyelidikan KPK tidak
ditemukan adanya perbuatan melawan hukum.
Poinnya karena perbedaan penggunaan aturan. Penggunaan Perpres No.40
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. itu banyak yang mengugurkan,ujarnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berpandangan, perbedaan aturan yang
digunakan menjadikan perselisihan antara KPK dengan BPK. Bila
menggunakan Perpres No.71 Tahun 2012 akan banyak ditemukan penyimpangan.
Pembelian jual beli lahan RS Sumber Waras yang dilakukan Pemda DKI
menggunakan Perpres No.40 Tahun 2014. Dengan menggunakan Perpres No.40
Tahun 2014 sebagai perubahan dari Perpres No.71 Tahun 2012 maka
penyimpangan menjadi gugur. Sering kali hasil audit itu tidak ditemukan perbuatan melawan hukum.
Tidak selamanya perhitungan kerugian negara berbanding lurus dengan
perbuatan melawan hukum, ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan tidak adanya
perbuatan melawan hukum sebagaimana penyelidikan KPK berbeda dengan
audit BPK. Padahal hasil investigasi BPK mestinya menjadi acuan KPK
dalam menyelidik perkara. Hasil audit BPK yang menyatakan telah terjadi
penyimpangan yang sempurna serta adanya kerugian negara mestinya
ditindaklanjuti KPK. Bahkan, hasil audit BPK menjadi satu alat bukti
permulaan.
Menurutnya, unsur tindak pidana korupsi tak hanya perbuatan melawan
hokum, namun juga penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang dapat
menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Benny menyerahkan ke KPK
sepenuhnya terkait ada tidaknya penyalahgunaan wewenang kekusaan dan
jabatan serta perbuatan melawan hukum. Silakan ditelisik,ujar
politikus Demokrat itu.
Anggota Komisi III Arsul Sani menambahkan, tedapat dua penafsiran
terhadap Pasal 121 Perpres No.71 Tahun 2012 dan Perpres No.40 Tahun
2014. Pasal 121 Perpres No.71 Tahun 2012 menyatakan, Dalam rangka
efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang
luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektare, dapat langsung oleh Instansi
yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara
jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah
pihak.
Sedangkan Pasal 121 Perpres No.40 Tahun 2014 menyatakan, Dalam
rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar, dapat dilakukan langsung oleh
instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang ha katas tanah,
dengan cara jual beli atau tukar menikar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
Faktanya, uang negara telah dibayarkan atas pembelian lahan RS Sumber
Waras. Namun, perjanjian penggunaan lahan tersebut digunakan dua tahun
kemudian. Arsul berpandangan dalam kasus tersebut setidaknya terdapat
tiga hal yang dapat ditelusuri untuk melihat ada tidaknya mens rea.
Pertama, siapa yang memerintahkan tanah tersebut untuk dibeli. Kedua,
bagaimana penentuan harga lahan. Ketiga, pembelian diperuntukan apa dan
mendapatkan apa.
Sampai sekarang penguasaan lahan masih oleh Sumber Waras, padahal
sudah dibayar penuh. Kemudian sertifikat tanahnya belum selesai di BPN.
Kalau melihat ini sudah ada temuan mens rea, ujar politikus PPP itu.
Belum dapat ditingkatkan ke penyidikan
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menambahkan, dalam rangka menyamakan
persepsi karena adanya perbedaan, KPK akan mengundang BPK. Menurutnya,
tim BPK akan dipertemukan dengan penyelidik KPK. Sedangkan pimpinan KPK
akan menyaksikan perihal gelar perkara dan diskusi kasus tersebut.“Kami
akan bertemu dengan BPK, ujarnya.
Dia mengatakan, perbedaan pandangan antara KPK dan BPK menyebabkan
lembaga antirasuah itu belum dapat bergerak lebih jauh untuk
meningkatkan kasus RS Sumber Waras ke tingkat penyidikan. KPK memang kekeuh dengan tidak adanya temuan perbuatan melawan hukum. Itu sebabnya, terbuka peluang penyelidikan kasus tersebut dihentikan.
Sampai hari ini kami belum bisa meningkatkan kasus ini ke penyidikan,ujarnya.
Anggota Komisi III Wihadi Wiyanto berpandangan perbedaan pandangan
antara KPK dan BPK dimunculkan ke publik jarang terjadi. Padahal,
sebagai lembaga auditor negara yang diatur dalam konstitusi mestinya KPK
menindaklanjuti audit investigasi BPK. Menurutnya, uang sebesar Rp700
miliar lebih sudah dibayarkan ke pihak penjual. Namun, uang yang
tersimpan di rekening penjual tak bergerak. Dengan kata lain, angka yang
tertera tidak berkurang sejak pembayaran.
“Yayasan Sumber Waras seolah membutuhkan dana sehingga menjual. Tapi
kenapa dana itu berhenti dan tidak ada yang ambil. Jadi harus melibatkan
PPATK. Kemudian keterangan Karitini Mulyadi hanya menerima lebih Rp300
miliar. Lalu, Rp400 miliar lagi kemana? Penyelidikan harus jalan terus,pungkas politikus Gerindra itu.